Oleh: Moh. Farhan, S.S.*
Ojung merupakan seni pertunjukan yang menampilkan pertarungan dua lelaki menggunakan media rotan. Kesenian ini rutin digelar setiap tahun oleh masyarakat di Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo. Biasanya, masyarakat setempat menggelar Ojhung dalam rangkaian acara ritual selamatan desa yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut dapat membawa keselamatan bagi masyarakat di desanya.
Narasi Ojung di Desa Bugeman bermula dari kisah sesepuh atau ketua adat desa setempat. Ia adalah Ju’ Mode. Ju’ Mode merupakan putra Ju’ Arseni. Ju’ Arseni merupakan satu dari tujuh belas sesepuh yang disebut sebagai pembabat desa-desa di Kecamatan Kendit. Penulis mendengarkan cerita yang disampaikan oleh Pak Yoyok, pegiat dan ketua panitia seni pertunjukan Ojung di Desa Bugeman.
Pada masa ketua adat Ju’ Mode atau generasi kedua pembabat Desa Bugeman terjadi beberapa peristiwa yang membuat masyarakat Bugeman resah: kekeringan, wabah, dan carok atau perkelahian. Peristiwa tersebut membuat Ju’ Mode pergi ke Tanah Wulan, Bondowoso untuk menyepi dan meminta petunjuk. Ju’ Mode kembali ke Bugeman setelah mendapat petunjuk. Dan petunjuk itu adalah perintah melaksanakan Ojung.
Pertunjukan Ojung di Desa Bugeman diselenggarakan di akhir bulan Maulid. Secara spesifik masyarakat setempat menyebutnya malam lekoran. Tanggal lekoran merupakan opsi yang dapat dipilih oleh ketua adat dalam menentukan waktu pelaksanaan Ojung setiap tahunnya.
Pertunjukan Ojung di Desa Bugeman erat kaitannya dengan acara ritual selamatan desa. Oleh karena itu agar acara berlangsung lebih khitmat dan terfokus, ketua adat setempat membagi rangkaian acara dalam dua tahapan. Pertama, acara selamatan desa. Acara ini diisi dengan maulidan yakni peringatan maulid nabi sebagaimana dalam tradisi Islam pada umumnya. Acara tersebut digelar pada pagi hari. Kemudian di sore hari, acara dilanjutkan dengan seserahan atau persembahan sesajen. Masyarakat setempat menyebutnya Ongghe’en.
Ongghe’en diisi dengan berbagai macam makanan, mulai dari hasil bumi masyarakat Bugeman seperti jenang, ketupat, dan aneka jajanan tradisional hingga kepala sapi. Semua sesajen tersebut dimasukkan ke dalam legin. Legin dibuat dari bambu yang dibentuk menjadi kotak. Bagian dalam legin dibuat tiga ruang bersusun untuk tempat sesajen. Atap dan tiap sisinya ditutup dengan tirai yang terbuat dari ayaman daun kelapa. Aneka jajanan pasar diikat menggantung di sekeliling sisi legin. Di bagian bawah diberi bambu sebanyak dua yang memajang di kedua sisi leging. Bambu tersebut sebagai pegangan bapak-bapak yang mengusung legin ke tempat ritual yang telah ditentukan.
Legin diarak dari rumah kepala desa menuju tempat ritual. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai tempat penyuntingan. Arak-arakan legin diiringi dengan musik dhangkong yakni alat musik yang terdiri atas kendang, kenong, dan gong. Meskipun diiringi dengan dhangkong, arak-arakan legin harus dilaksanakan secara biasa. Tidak urakan. Menurut Pak Yoyok, hal ini untuk menghindari sikap berlebihan yang menyimpang dari tujuan ritual yakni memohon keselamatan.
Sesampainya di tempat ritual, legin diletakkan di bawah Pohon Kolpo. Sebuah pohon yang dipercaya sebagai asal-muasal penamaan daerah setempat. Karena Pohon Kolpo terletak di Dusun Krajan, maka acara ritual ini selalu digelar di dusun tersebut. Hal ini sebagai tanda penghormatan masyarakat Bugeman terhadap daerah pertama yang dibabat oleh sesepuhnya.
Ritual dimulai dengan prosesi pemujaan yang dilakukan oleh tokoh adat dengan membakar kemenyan sambil nyonson barang-barang peninggalan leluhur. Prosesi ini diiringi dengan pembacaan doa-doa dalam tradisi Islam agar masyarakat setempat selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Selepas prosesi pemujaan itu, legin kemudian dibawa kembali ke rumah ketua adat. Di rumah ketua adat, beberapa sesepuh desa dan kepala desa berkumpul untuk melaksanakan pembacaan doa lanjutan sebelum sesajen itu dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol keberkahan.
Di Desa Bugeman terdapat tiga dusun yakni Krajan, Pandegan dan Belangguan. Pertunjukan Ojhung digelar di Dusun Belangguan dan tidak boleh dipindah ke dusun lain. Hal ini disepakati oleh ketua adat dan masyarakat untuk menghindari hal-hal buruk yang bersifat mistik terjadi.
Awalnya, pertunjukan Ojhung digelar secara sederhana di tanah lapang. Kemudian pada 2009, Ojhung mulai digelar menggunakan panggung. Hal ini untuk menghadirkan nuansa pertunjukan yang estetis dengan berbagai ornamen di tubuh panggung. Selain itu juga untuk memudahkan penonton melihat pertunjukan Ojhung, karena pengunjung yang hadir dari daerah setapal kuda dan beberapa daerah di Jawa Timur semakin banyak.
Pertunjukan Ojhung dimulai pada pukul 13.00 dengan menampilkan dua lelaki yang siap bertarung. Sebelum pertarungan dimulai, panitia menyiapkan beberapa peralatan yang akan digunakan oleh pemain. Pertama, pemain diberi rotan sebagai alat pukul. Ukuranya 1,1 meter. Kedua, pemain harus memakai kostum berupa sarung dan kopyah hitam. Pemain tidak diperkenankan memakai baju, celana maupun alat-alat lain selain yang telah disediakan panitia.
Pertunjukan Ojhung dipimpin oleh 3 orang pengadil dengan peran yang berbeda: 1 sebagai wasit dan 2 Bebuto. Wasit bertugas memulai dan menghentikan pertandingan, sedangkan Bebuto merupakan sebutan untuk dua orang yang tugasnya mengadu pemain. Selain mengadu, Bebuto juga mempunyai tugas melerai dan menghitung jumlah pukulan antar pemain. Adapun syarat seseorang bisa menjadi wasit dan bebuto yakni pernah mengikuti Ojhung dan jago atau berstatus sebagai juara.
Pada mulanya peserta Ojhung harus orang asli Desa Bugeman. Hal ini untuk menunjukkan rasa memiliki dan kebanggan masyarakat Bugeman terhadap kesenian yang diwariskan oleh leluhurnya. Disamping itu, Ojhung juga menjadi media atau ajang pertunjukan orang-orang setempat yang dahulu sering terlibat perkelahian atau carok. Menurut Pak Yoyok, Ojhung digelar agar peluang carok antar warga masyarakat Desa Bugeman dapat ditekan atau dihindari. Namun, akhir-akhir ini Ojhung akhirnya dibuka untuk umum. Masyarakat dari luar Bugeman dapat berpartisipasi dalam pertunjukan Ojhung.
Pada pertunjukan Ojhung, panitia tidak membuka pendaftaran. Penentuan pemain yang akan saling berhadapan ditawarkan secara terbuka kepada penonton yang hadir. Penonton yang bersedia tampil dapat langsung mendekat ke tempat panitia sambil menunggu tantangan lawan. Ketika dua pemain sudah siap, bebuto mengawal pemain ke atas panggung untuk melakukan persiapan. Kemudian pertarungan dimulai.
Masing-masing pemain mempunyai 3 kesempatan memukul secara bergantian. Jika pemain satu memukul, maka lawannya akan berusaha menangkis atau menghindar. Pemain yang lebih dulu memukul di ronde pertama diharuskan bertahan di ronde berikutnya. Pukulan yang dianggap tepat dan terhitung atau menurut istilah setempat disebut masok yakni pukulan yang mengenai dada, lengan, dan punggung, sedangkan pukulan yang mengenai kepala dan alat vital terhitung pelanggaran. Peserta yang melakukan pelanggaran secara langsung terbilang kalah.
Pertandingan Ojhung biasanya diiringi oleh dangkong. Pemukul dangkong menyelaraskan ritme musiknya dengan gerakan-gerakan yang ditampilkan oleh pemain. Dalam beberapa kesempatan, pemain seringkali menampilkan gerakan-gerakan yang atraktif seperti memutar, menghentakkan kaki, kuda-kuda serta berjoget. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan untuk memantik respon lawan dan penonton sehingga pertunjukan lebih menarik dan meriah.
Kemeriahan itu makin terlihat ketika tahun 2015 Tari Ojhung hadir menjadi bagian dari acara. Tari Ojhung merupakan tarian yang merepresentasikan Ojhung dalam gerakan estetis. Tari Ojhung biasanya ditampilkan sebelum pertunjukan Ojhung dimulai. Bentuk Tari Ojhung meliputi maju gawang, pertunjukan kehebatan silat dan gerakan silat.
Tari Ojhung dilakukan oleh tiga orang lelaki mengenakan pakaian seperti pemain Ojhung. Mereka juga memegang rotan. Sambil menari dan memutar, rotan yang mereka pegang dipukul-pukulkan ke tanah. Setelah itu muncul dua lelaki lainnya yang langsung melakukan atraksi saling pukul pakai rotan sebagai miniatur pertunjukan Ojhung. Tari Ojhung diiringi dangkong sebagai musik pendukung gerakan tari agar muncul nuansa yang menyenangkan.
Pertujukan Ojhung ditutup pada pukul 17.00 sebelum maghrib.
____
*) Penulis merupakan guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 SItubondo.
**) sumber foto: situbondo.momentum.com